Tuesday, June 6, 2017

Tugas Softskill

1. Perbandingan cyber law, Computer crime act (Malaysia), Council of Europe Convention on Cyber crime

Cyber Law
Cyber Law adalah aspek hukum  yang artinya berasal dari Cyberspace Law, dimana ruang lingkupnya meliputi aspek-aspek yang berhubungan dengan orang perorangan atau subyek hukum yang menggunakan dan memanfaatkan teknologi internet yang dimulai pada saat mulai online dan memasuki dunia cyber atau maya. Sehingga dapat diartikan cybercrome itu merupakan kejahatan dalam dunia internet.
Cyber Law merupakan seperangkat aturan yang dibuat oleh suatu Negara tertentu, dan peraturan yang dibuat itu hanya berlaku kepada masyarakat Negara tertentu. Cyber Law dapat pula diartikan sebagai hukum yang digunakan di dunia cyber (dunia maya), yang umumnya diasosiasikan dengan internet.

Cyber Law Negara Malaysia:
Digital Signature Act 1997 merupakan Cyber Law pertama yang disahkan oleh parlemen Malaysia. Tujuan cyberlaw ini adalah untuk memungkinkan perusahaan dan konsumen untuk menggunakan tanda tangan elektronik (bukan tanda tangan tulisan tangan) dalam hukum dan transaksi bisnis. Pada cyberlaw berikutnya yang akan berlaku adalah Telemedicine Act 1997. Cyberlaw ini praktis medis untuk memberdayakan memberikan pelayanan medis/konsultasi dari lokasi jauh melalui penggunaan fasilitas komunikasi elektronik seperti konferensi video.

Computer Crime Act (Malaysia)
Cybercrime merupakan suatu kegiatan yang dapat dihukum karena telah menggunakan computer dalam jaringan internet yang merugikan dan menimbulkan kerusakan pada jaringan computer internet, yaitu merusak property, masuk tanpa izin, pencurian hak milik intelektual, pornografi, pemalsuan data, pencurian penggelapan dana masyarakat.
Cyber Law diasosiasikan dengan media internet yang merupakan aspek hukum dengan ruang lingkup yang disetiap aspeknya berhubungan dnegan manusia dengan memanfaatkan teknologi internet.

Council of Europe Convention on Cybercrime (COECCC)
Merupakan salah satu contoh organisasi internasional yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dari kejahatan di dunia maya, dengan mengadopsikan aturan yang tepat dan untuk meningkatkan kerja sama internasional dalam mewujudkan hal ini.
COCCC telah diselenggarakan pada tanggal 23 November 2001 di kota Budapest, Hongaria. Konvensi ini telah menyepakati bahwa Convention on Cybercrime dimasukkan dalam European Treaty Series dengan nomor 185. Konvensi ini akan berlaku secara efektif setelah diratifikasi oleh minimal lima Negara, termasuk paling tidak ratifikasi yang dilakukan oleh tiga Negara anggota Council of Europe. Substansi konvensi mencakup area yang cukup luas, bahkan mengandung kebijakan criminal yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dari cybercrime, baik melalui undang-undang maupun kerja sama internasional.  Konvensi ini dibentuk dengan pertimbangan-pertimbangan antara lain sebagai berikut:
  1. Bahwa masyarakat internasional menyadari perlunya kerjasama antar Negara dan Industri dalam memerangi kejahatan cyber dan adanya kebutuhan untuk melindungi kepentingan yang sah dalam penggunaan dan pengembangan teknologi informasi.
  2. Konvensi saat ini diperlukan untuk meredam penyalahgunaan sistem, jaringan dan data komputer untuk melakukan perbuatan kriminal. Hal lain yang diperlukan adalah adanya kepastian dalam proses penyelidikan dan penuntutan pada tingkat internasional dan domestik melalui suatu mekanisme kerjasama internasional yang dapat dipercaya dan cepat.
  3. Saat ini sudah semakin nyata adanya kebutuhan untuk memastikan suatu kesesuaian antara pelaksanaan penegakan hukum dan hak azasi manusia sejalan dengan Konvensi Dewan Eropa untuk Perlindungan Hak Azasi Manusia dan Kovenan Perserikatan Bangsa-Bangsa 1966 tentang Hak Politik Dan sipil yang memberikan perlindungan kebebasan berpendapat seperti hak berekspresi, yang mencakup kebebasan untuk mencari, menerima, dan menyebarkan informasi/pendapat.
Konvensi ini telah disepakati oleh masyarakat Uni Eropa sebagai konvensi yang terbuka untuk diakses oleh Negara manapun di dunia. Hal ini dimaksudkan untuk diajdikan norma dan instrument Hukum Internasional dalam mengatasi kejahatan cyber, tanpa mengurangi kesempatan setiap individu untuk tetap dapat mengembangkan kreativitasnya dalam pengembangan teknologi informasi.

Perbedaan Cyber Law, Computer Crime Act, dan Council of Europe Convention on Cybercrime
  • Cyber Law: merupakan seperangkat aturan yang dibuat oleh suatu Negara tertentu dan peraturan yang dibuat itu hanya berlaku kepada masyarakat Negara tertentu.
  • Computer Crime Act (CCA): merupakan undang-undang penyalahgunaan informasi teknologi di Malaysia.
  • Council of Europe Convention on Cybercrime: merupakan organisasi yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dari kejahatan di dunia internasional. Organisasi ini dapat memantau semua pelanggaran yang ada di seluruh dunia.


2. UU No.19 tentang hak cipta. Ketentuan umum, lingkup hak cipta, perlindungan hak cipta, pembatasan hak cipta, prosedur pendaftaran HAKI


BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
  1. Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  2. Pencipta adalah seorang atau beberapa orang secara bersama-sama yang atas inspirasinya melahirkan suatu Ciptaan berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang dituangkan ke dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi.
  3. Ciptaan adalah hasil setiap karya Pencipta yang menunjukkan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni, atau sastra.
  4. Pemegang Hak Cipta adalah Pencipta sebagai Pemilik Hak Cipta, atau pihak yang menerima hak tersebut dari Pencipta, atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak dari pihak yang menerima hak tersebut.
  5. Pengumuman adalah pembacaan, penyiaran, pameran, penjualan, pengedaran, atau penyebaran suatu Ciptaan dengan menggunakan alat apa pun, termasuk media internet, atau melakukan dengan cara apa pun sehingga suatu Ciptaan dapat dibaca, didengar, atau dilihat orang lain.
  6. Perbanyakan adalah penambahan jumlah sesuatu Ciptaan, baik secara keseluruhan maupun bagian yang sangat substansial dengan menggunakan bahan-bahan yang sama ataupun tidak sama, termasuk mengalihwujudkan secara permanen atau temporer.
  7. Potret adalah gambar dari wajah orang yang digambarkan, baik bersama bagian tubuh lainnya ataupun tidak, yang diciptakan dengan cara dan alat apa pun.
  8. Program Komputer adalah sekumpulan instruksi yang diwujudkan dalam bentuk bahasa, kode, skema, ataupun bentuk lain, yang apabila digabungkan dengan media yang dapat dibaca dengan komputer akan mampu membuat komputer bekerja untuk melakukan fungsi-fungsi khusus atau untuk mencapai hasil yang


khusus, termasuk persiapan dalam merancang instruksi instruksi tersebut.
  1. Hak Terkait adalah hak yang berkaitan dengan Hak Cipta, yaitu hak eksklusif bagi Pelaku untuk memperbanyak atau menyiarkan pertunjukannya; bagi Produser Rekaman Suara untuk memperbanyak atau menyewakan karya rekaman suara atau rekaman bunyinya; dan bagi Lembaga Penyiaran untuk membuat, memperbanyak, atau menyiarkan karya siarannya.
  2. Pelaku adalah aktor, penyanyi, pemusik, penari, atau mereka yang menampilkan, memperagakan, mempertunjukkan, menyanyikan, menyampaikan, mendeklamasikan, atau memainkan suatu karya musik, drama, tari, sastra, folklor, atau karya seni lainnya.
  3. Produser Rekaman Suara adalah orang atau badan hukum yang pertama kali merekam dan memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan perekaman suara atau perekaman bunyi, baik perekaman dari suatu pertunjukan maupun perekaman suara atau perekaman bunyi lainnya.
  4. Lembaga Penyiaran adalah organisasi penyelenggara siaran yang berbentuk badan hukum, yang melakukan penyiaran atas suatu karya siaran dengan menggunakan transmisi dengan atau tanpa kabel atau melalui sistem elektromagnetik.
  5. Permohonan adalah Permohonan pendaftaran Ciptaan yang diajukan oleh pemohon kepada Direktorat Jenderal.
  6. Lisensi adalah izin yang diberikan oleh Pemegang Hak Cipta atau Pemegang Hak Terkait kepada pihak lain untuk mengumumkan dan/atau memperbanyak Ciptaannya atau produk Hak Terkaitnya dengan persyaratan tertentu.
  7. Kuasa adalah konsultan Hak Kekayaan Intelektual sebagaimana diatur dalam ketentuan Undang-undang ini.
  8. Menteri adalah Menteri yang membawahkan departemen yang salah satu lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pembinaan di bidang Hak Kekayaan Intelektual, termasuk Hak Cipta.
  9. Direktorat Jenderal adalah Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual yang berada di bawah departemen yang dipimpin oleh Menteri.

BAB II
LINGKUP HAK CIPTA

Bagian Pertama
Fungsi dan Sifat Hak Cipta

Pasal 2
  1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara


otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  1. Pencipta atau Pemegang Hak Cipta atas karya sinematografi dan Program Komputer memiliki hak untuk memberikan izin atau melarang orang lain yang tanpa persetujuannya menyewakan Ciptaan tersebut untuk kepentingan yang bersifat komersial.

Pasal 3
  1. Hak Cipta dianggap sebagai benda bergerak.
  2. Hak Cipta dapat beralih atau dialihkan, baik seluruhnya maupun sebagian karena:
    1. Pewarisan;
    2. Hibah;
    3. Wasiat;
    4. Perjanjian tertulis; atau
    5. Sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan.

Pasal 4
  1. Hak Cipta yang dimiliki oleh Pencipta, yang setelah Penciptanya meninggal dunia, menjadi milik ahli warisnya atau milik penerima wasiat, dan Hak Cipta tersebut tidak dapat disita, kecuali jika hak itu diperoleh secara melawan hukum.
  2. Hak Cipta yang tidak atau belum diumumkan yang setelah Penciptanya meninggal dunia, menjadi milik ahli warisnya atau milik penerima wasiat, dan Hak Cipta tersebut tidak dapat disita, kecuali jika hak itu diperoleh secara melawan hukum.

Bagian Kedua
Pencipta

Pasal 5
  1. Kecuali terbukti sebaliknya, yang dianggap sebagai Pencipta adalah:
    1. orang yang namanya terdaftar dalam Daftar Umum Ciptaan pada Direktorat Jenderal; atau
    2. orang yang namanya disebut dalam Ciptaan atau diumumkan sebagai Pencipta pada suatu Ciptaan.
  2. Kecuali terbukti sebaliknya, pada ceramah yang tidak menggunakan bahan tertulis dan tidak ada pemberitahuan siapa Penciptanya, orang yang berceramah dianggap sebagai Pencipta ceramah tersebut.



Pasal 6
Jika suatu Ciptaan terdiri atas beberapa bagian tersendiri yang diciptakan oleh dua orang atau lebih, yang dianggap sebagai Pencipta ialah orang yang memimpin serta mengawasi penyelesaian seluruh Ciptaan itu, atau dalam hal tidak ada orang tersebut, yang dianggap sebagai Pencipta adalah orang yang menghimpunnya dengan tidak mengurangi Hak Cipta masing-masing atas bagian Ciptaannya itu.

Pasal 7
Jika suatu Ciptaan yang dirancang seseorang diwujudkan dan dikerjakan oleh orang lain di bawah pimpinan dan pengawasan orang yang merancang, Penciptanya adalah orang yang merancang Ciptaan itu.

Pasal 8
  1. Jika suatu Ciptaan dibuat dalam hubungan dinas dengan pihak lain dalam lingkungan pekerjaannya, Pemegang Hak Cipta adalah pihak yang untuk dan dalam dinasnya Ciptaan itu dikerjakan, kecuali ada perjanjian lain antara kedua pihak dengan tidak mengurangi hak Pencipta apabila penggunaan Ciptaan itu diperluas sampai ke luar hubungan dinas.
  2. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi Ciptaan yang dibuat pihak lain berdasarkan pesanan yang dilakukan dalam hubungan dinas.
  3. Jika suatu Ciptaan dibuat dalam hubungan kerja atau berdasarkan pesanan, pihak yang membuat karya cipta itu dianggap sebagai Pencipta dan Pemegang Hak Cipta, kecuali apabila diperjanjikan lain antara kedua pihak.

Pasal 9
Jika suatu badan hukum mengumumkan bahwa Ciptaan berasal dari padanya dengan tidak menyebut seseorang sebagai Penciptanya, badan hukum tersebut dianggap sebagai Penciptanya, kecuali jika terbukti sebaliknya.

Bagian Ketiga
Hak Cipta atas Ciptaan yang Penciptanya Tidak Diketahui

Pasal 10
  1. Negara memegang Hak Cipta atas karya peninggalan prasejarah, sejarah, dan benda budaya nasional lainnya.
  2. Negara memegang Hak Cipta atas folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, seperti cerita, hikayat, dongeng, legenda, babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi, dan karya seni lainnya.
  3. Untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaan tersebut pada ayat (2), orang yang bukan warga negara Indonesia harus terlebih dahulu mendapat izin dari instansi yang terkait dalam masalah tersebut.


  1. Ketentuan lebih lanjut mengenai Hak Cipta yang dipegang oleh Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini, diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 11
  1. Jika suatu Ciptaan tidak diketahui Penciptanya dan Ciptaan itu belum diterbitkan, Negara memegang Hak Cipta atas Ciptaan tersebut untuk kepentingan Penciptanya.
  2. Jika suatu Ciptaan telah diterbitkan tetapi tidak diketahui Penciptanya atau pada Ciptaan tersebut hanya tertera nama samaran Penciptanya, Penerbit memegang Hak Cipta atas Ciptaan tersebut untuk kepentingan Penciptanya.
  3. Jika suatu Ciptaan telah diterbitkan tetapi tidak diketahui Penciptanya dan/atau Penerbitnya, Negara memegang Hak Cipta atas Ciptaan tersebut untuk kepentingan Penciptanya.

Bagian Keempat
Ciptaan yang Dilindungi

Pasal 12
  1. Dalam Undang undang ini Ciptaan yang dilindungi adalah Ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, yang mencakup:
    1. buku, Program Komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain;
    2. ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan lain yang sejenis dengan itu;
    3. alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan;
    4. lagu atau musik dengan atau tanpa teks;
    5. drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim;
    6. seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan;
    7. arsitektur;
    8. peta;
    9. seni batik;
    10. fotografi;
    11. sinematografi;
    12. terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lain dari hasil pengalihwujudan.
  2. Ciptaan sebagaimana dimaksud dalam huruf l dilindungi sebagai Ciptaan tersendiri dengan tidak mengurangi Hak Cipta atas Ciptaan asli.
  3. Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), termasuk juga semua Ciptaan yang tidak atau belum diumumkan, tetapi sudah


merupakan suatu bentuk kesatuan yang nyata, yang memungkinkan Perbanyakan hasil karya itu.

Pasal 13
Tidak ada Hak Cipta atas:
  1. hasil rapat terbuka lembaga-lembaga Negara;
  2. peraturan perundang-undangan;
  3. pidato kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah;
  4. putusan pengadilan atau penetapan hakim; atau
  5. keputusan badan arbitrase atau keputusan badan-badan sejenis lainnya.

Bagian Kelima
Pembatasan Hak Cipta

Pasal 14
Tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta:
  1. Pengumuman dan/atau Perbanyakan lambang Negara dan lagu kebangsaan menurut sifatnya yang asli;
  2. Pengumuman dan/atau Perbanyakan segala sesuatu yang diumumkan dan/atau diperbanyak oleh atau atas nama Pemerintah, kecuali apabila Hak Cipta itu dinyatakan dilindungi, baik dengan peraturan perundang-undangan maupun dengan pernyataan pada Ciptaan itu sendiri atau ketika Ciptaan itu diumumkan dan/atau diperbanyak; atau
  3. Pengambilan berita aktual baik seluruhnya maupun sebagian dari kantor berita, Lembaga Penyiaran, dan surat kabar atau sumber sejenis lain, dengan ketentuan sumbernya harus disebutkan secara lengkap.

Pasal 15
Dengan syarat bahwa sumbernya harus disebutkan atau dicantumkan, tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta:
  1. penggunaan Ciptaan pihak lain untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dengan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta;
  2. pengambilan Ciptaan pihak lain, baik seluruhnya maupun sebagian, guna keperluan pembelaan di dalam atau di luar Pengadilan;
  3. pengambilan Ciptaan pihak lain, baik seluruhnya maupun sebagian, guna keperluan:
    1. ceramah yang semata-mata untuk tujuan pendidikan dan ilmu pengetahuan; atau


  1. pertunjukan atau pementasan yang tidak dipungut bayaran dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta;
  1. Perbanyakan suatu Ciptaan bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra dalam huruf braille guna keperluan para tunanetra, kecuali jika Perbanyakan itu bersifat komersial;
  2. Perbanyakan suatu Ciptaan selain Program Komputer, secara terbatas dengan cara atau alat apa pun atau proses yang serupa oleh perpustakaan umum, lembaga ilmu pengetahuan atau pendidikan, dan pusat dokumentasi yang nonkomersial semata mata untuk keperluan aktivitasnya;
  3. perubahan yang dilakukan berdasarkan pertimbangan pelaksanaan teknis atas karya arsitektur, seperti Ciptaan bangunan;
  4. pembuatan salinan cadangan suatu Program Komputer oleh pemilik Program Komputer yang dilakukan semata mata untuk digunakan sendiri.

Pasal 16
  1. Untuk kepentingan pendidikan, ilmu pengetahuan, serta kegiatan penelitian dan pengembangan, terhadap Ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan dan sastra, Menteri setelah mendengar pertimbangan Dewan Hak Cipta dapat:
    1. mewajibkan Pemegang Hak Cipta untuk melaksanakan sendiri penerjemahan dan/atau Perbanyakan Ciptaan tersebut di wilayah Negara Republik Indonesia dalam waktu yang ditentukan;
    2. mewajibkan Pemegang Hak Cipta yang bersangkutan untuk memberikan izin kepada pihak lain untuk menerjemahkan dan/atau memperbanyak Ciptaan tersebut di wilayah Negara Republik Indonesia dalam waktu yang ditentukan dalam hal Pemegang Hak Cipta yang bersangkutan tidak melaksanakan sendiri atau melaksanakan sendiri kewajiban sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
    3. menunjuk pihak lain untuk melakukan penerjemahan dan/atau Perbanyakan Ciptaan tersebut dalam hal Pemegang Hak Cipta tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam huruf b.
  2. Kewajiban untuk menerjemahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan setelah lewat jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak diterbitkannya Ciptaan di bidang ilmu pengetahuan dan sastra selama karya tersebut belum pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
  3. Kewajiban untuk memperbanyak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan setelah lewat jangka waktu:
    1. 3 (tiga) tahun sejak diterbitkannya buku di bidang matematika dan ilmu pengetahuan alam dan buku itu belum pernah diperbanyak di wilayah Negara Republik Indonesia;
    2. 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya buku di bidang ilmu sosial dan buku itu belum pernah diperbanyak di wilayah Negara Republik Indonesia;


  1. 7 (tujuh) tahun sejak diumumkannya buku di bidang seni dan sastra dan buku itu belum pernah diperbanyak di wilayah Negara Republik Indonesia.
  1. Penerjemahan atau Perbanyakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat digunakan untuk pemakaian di dalam wilayah Negara Republik Indonesia dan tidak untuk diekspor ke wilayah Negara lain.
  2. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c disertai pemberian imbalan yang besarnya ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
  3. Ketentuan tentang tata cara pengajuan Permohonan untuk menerjemahkan dan/atau memperbanyak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.

Pasal 17
Pemerintah melarang Pengumuman setiap Ciptaan yang bertentangan dengan kebijaksanaan Pemerintah di bidang agama, pertahanan dan keamanan Negara, kesusilaan, serta ketertiban umum setelah mendengar pertimbangan Dewan Hak Cipta.

Pasal 18
  1. Pengumuman suatu Ciptaan yang diselenggarakan oleh Pemerintah untuk kepentingan nasional melalui radio, televisi dan/atau sarana lain dapat dilakukan dengan tidak meminta izin kepada Pemegang Hak Cipta dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pemegang Hak Cipta, dan kepada Pemegang Hak Cipta diberikan imbalan yang layak.
  2. Lembaga Penyiaran yang mengumumkan Ciptaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang mengabadikan Ciptaan itu semata-mata untuk Lembaga Penyiaran itu sendiri dengan ketentuan bahwa untuk penyiaran selanjutnya, Lembaga Penyiaran tersebut harus memberikan imbalan yang layak kepada Pemegang Hak Cipta yang bersangkutan.

Bagian Keenam
Hak Cipta atas Potret

Pasal 19
  1. Untuk memperbanyak atau mengumumkan Ciptaannya, Pemegang Hak Cipta atas Potret seseorang harus terlebih dahulu mendapatkan izin dari orang yang dipotret, atau izin ahli warisnya dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun setelah orang yang dipotret meninggal dunia.
  2. Jika suatu Potret memuat gambar 2 (dua) orang atau lebih, untuk Perbanyakan atau Pengumuman setiap orang yang dipotret, apabila Pengumuman atau Perbanyakan itu memuat juga orang lain dalam Potret itu, Pemegang Hak Cipta harus terlebih dahulu mendapatkan izin dari setiap


orang dalam Potret itu, atau izin ahli waris masing-masing dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun setelah yang dipotret meninggal dunia.
  1. Ketentuan dalam Pasal ini hanya berlaku terhadap Potret yang dibuat:
    1. atas permintaan sendiri dari orang yang dipotret;
    2. atas permintaan yang dilakukan atas nama orang yang dipotret; atau
    3. untuk kepentingan orang yang dipotret.

Pasal 20
Pemegang Hak Cipta atas Potret tidak boleh mengumumkan potret yang dibuat:
  1. tanpa persetujuan dari orang yang dipotret;
  2. tanpa persetujuan orang lain atas nama yang dipotret; atau
  3. tidak untuk kepentingan yang dipotret,
apabila Pengumuman itu bertentangan dengan kepentingan yang wajar dari orang yang dipotret, atau dari salah seorang ahli warisnya apabila orang yang dipotret sudah meninggal dunia.

Pasal 21
Tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta, pemotretan untuk diumumkan atas seorang Pelaku atau lebih dalam suatu pertunjukan umum walaupun yang bersifat komersial, kecuali dinyatakan lain oleh orang yang berkepentingan.

Pasal 22
Untuk kepentingan keamanan umum dan/atau untuk keperluan proses peradilan pidana, Potret seseorang dalam keadaan bagaimanapun juga dapat diperbanyak dan diumumkan oleh instansi yang berwenang.

Pasal 23
Kecuali terdapat persetujuan lain antara Pemegang Hak Cipta dan pemilik Ciptaan fotografi, seni lukis, gambar, arsitektur, seni pahat dan/atau hasil seni lain, pemilik berhak tanpa persetujuan Pemegang Hak Cipta untuk mempertunjukkan Ciptaan di dalam suatu pameran untuk umum atau memperbanyaknya dalam satu katalog tanpa mengurangi ketentuan Pasal 19 dan Pasal 20 apabila hasil karya seni tersebut berupa Potret.

Bagian Ketujuh
Hak Moral

Pasal 24
  1. Pencipta atau ahli warisnya berhak menuntut Pemegang Hak Cipta supaya nama Pencipta tetap dicantumkan dalam Ciptaannya.


  1. Suatu Ciptaan tidak boleh diubah walaupun Hak Ciptanya telah diserahkan kepada pihak lain, kecuali dengan persetujuan Pencipta atau dengan persetujuan ahli warisnya dalam hal Pencipta telah meninggal dunia.
  2. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku juga terhadap perubahan judul dan anak judul Ciptaan, pencantuman dan perubahan nama atau nama samaran Pencipta.
  3. Pencipta tetap berhak mengadakan perubahan pada Ciptaannya sesuai dengan kepatutan dalam masyarakat.

Pasal 25
  1. Informasi elektronik tentang informasi manajemen hak Pencipta tidak boleh ditiadakan atau diubah.
  2. Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 26
  1. Hak Cipta atas suatu Ciptaan tetap berada di tangan Pencipta selama kepada pembeli Ciptaan itu tidak diserahkan seluruh Hak Cipta dari Pencipta itu.
  2. Hak Cipta yang dijual untuk seluruh atau sebagian tidak dapat dijual untuk kedua kalinya oleh penjual yang sama.
  3. Dalam hal timbul sengketa antara beberapa pembeli Hak Cipta yang sama atas suatu Ciptaan, perlindungan diberikan kepada pembeli yang lebih dahulu memperoleh Hak Cipta itu.

Bagian Kedelapan
Sarana Kontrol Teknologi

Pasal 27
Kecuali atas izin Pencipta, sarana kontrol teknologi sebagai pengaman hak Pencipta tidak diperbolehkan dirusak, ditiadakan, atau dibuat tidak berfungsi.

Pasal 28
  1. Ciptaan ciptaan yang menggunakan sarana produksi berteknologi tinggi, khususnya di bidang cakram optik (optical disc), wajib memenuhi semua peraturan perizinan dan persyaratan produksi yang ditetapkan oleh instansi yang berwenang.
  2. Ketentuan lebih lanjut mengenai sarana produksi berteknologi tinggi yang memproduksi cakram optik sebagaimana diatur pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah

BAB IV
PENDAFTARAN CIPTAAN


Pasal 35
  1. Direktorat Jenderal menyelenggarakan pendaftaran Ciptaan dan dicatat dalam Daftar Umum Ciptaan.
  2. Daftar Umum Ciptaan tersebut dapat dilihat oleh setiap orang tanpa dikenai biaya.

  1. Setiap orang dapat memperoleh untuk dirinya sendiri suatu petikan dari Daftar Umum Ciptaan tersebut dengan dikenai biaya.
  2. Ketentuan tentang pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak merupakan kewajiban untuk mendapatkan Hak Cipta.

Pasal 36
Pendaftaran Ciptaan dalam Daftar Umum Ciptaan tidak mengandung arti sebagai pengesahan atas isi, arti, maksud, atau bentuk dari Ciptaan yang didaftar.

Pasal 37
  1. Pendaftaran Ciptaan dalam Daftar Umum Ciptaan dilakukan atas Permohonan yang diajukan oleh Pencipta atau oleh Pemegang Hak Cipta atau Kuasa.
  2. Permohonan diajukan kepada Direktorat Jenderal dengan surat rangkap 2 (dua) yang ditulis dalam bahasa Indonesia dan disertai contoh Ciptaan atau penggantinya dengan dikenai biaya.
  3. Terhadap Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktorat Jenderal akan memberikan keputusan paling lama 9 (sembilan) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya Permohonan secara lengkap.
  4. Kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah konsultan yang terdaftar pada Direktorat Jenderal.
  5. Ketentuan mengenai syarat syarat dan tata cara untuk dapat diangkat dan terdaftar sebagai konsultan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
  6. Ketentuan lebih lanjut tentang syarat dan tata cara Permohonan ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

Pasal 38
Dalam hal Permohonan diajukan oleh lebih dari seorang atau suatu badan hukum yang secara bersama sama berhak atas suatu Ciptaan, Permohonan tersebut dilampiri salinan resmi akta atau keterangan tertulis yang membuktikan hak tersebut.

Pasal 39
  1. Dalam Daftar Umum Ciptaan dimuat, antara lain:
  2. nama Pencipta dan Pemegang Hak Cipta;
  3. tanggal penerimaan surat Permohonan;
  4. tanggal lengkapnya persyaratan menurut Pasal 37; dan
  5. nomor pendaftaran Ciptaan.


Pasal 40
  1. Pendaftaran Ciptaan dianggap telah dilakukan pada saat diterimanya Permohonan oleh Direktorat Jenderal dengan lengkap menurut Pasal 37, atau pada saat diterimanya Permohonan dengan lengkap menurut Pasal 37 dan Pasal 38 jika Permohonan diajukan oleh lebih dari seorang atau satu badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38.
  2. Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diumumkan dalam Berita Resmi Ciptaan oleh Direktorat Jenderal.

Pasal 41
  1. Pemindahan hak atas pendaftaran Ciptaan, yang terdaftar menurut Pasal 39 yang terdaftar dalam satu nomor, hanya diperkenankan jika seluruh Ciptaan yang terdaftar itu dipindahkan haknya kepada penerima hak.
  2. Pemindahan hak tersebut dicatat dalam Daftar Umum Ciptaan atas permohonan tertulis dari kedua belah pihak atau dari penerima hak dengan dikenai biaya.
  3. Pencatatan pemindahan hak tersebut diumumkan dalam Berita Resmi Ciptaan oleh Direktorat Jenderal.

Pasal 42
Dalam hal Ciptaan didaftar menurut Pasal 37 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 39, pihak lain yang menurut Pasal 2 berhak atas Hak Cipta dapat mengajukan gugatan pembatalan melalui Pengadilan Niaga.

Pasal 43
  1. Perubahan nama dan/atau perubahan alamat orang atau badan hukum yang namanya tercatat dalam Daftar Umum Ciptaan sebagai Pencipta atau Pemegang Hak Cipta, dicatat dalam Daftar Umum Ciptaan atas permintaan tertulis Pencipta atau Pemegang Hak Cipta yang mempunyai nama dan alamat itu dengan dikenai biaya.
  2. Perubahan nama dan/atau perubahan alamat tersebut diumumkan dalam Berita Resmi Ciptaan oleh Direktorat Jenderal.

Pasal 44
Kekuatan hukum dari suatu pendaftaran Ciptaan hapus karena:
  1. penghapusan atas permohonan orang atau badan hukum yang namanya tercatat sebagai Pencipta atau Pemegang Hak Cipta;
  2. lampau waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 30, dan Pasal 31 dengan mengingat Pasal 32;
  3. dinyatakan batal oleh putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.




3. UU No. 36 tentang telekomunikasi: Azas dan tujuan telekomunikasi, penyelenggaraan telekomunikasi, penyidikan, sangsi administrasi dan ketentuan pidana



Dibuat nya Undang Undang No 36 tentang telekomunikasi berdasarkan pertimbangan-pertimbangan salah satunya adalah Bahwa penyelenggara komunikasi mempunyai arti strategis dalam upaya memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa, memperlancar kegiatan pemerintahan, mendukung terciptanya tujuan pemerataan pembangunan hasil-hasilnya, serta meningkatkan hubungan antar bangsa.
Telekomunikasi berdasarkan Undang Undang No 36. Telekomunikasi adalah setiap pemancaran, pengiriman atau penerimaan dari setiap informasi dalam bentuk tanda tanda,isyarat,tulisan ,gambar,suara dan bunyi melalui system kawat,optic,radio atau system elektromagnetik lainnya.
Asas dan Tujuan Telekomunikasi berdasarkan Undang Undang No 36
Pasal 2  Telekomunikasi diselenggarakan berdasarkan asas manfaat, adil dan merata, kepastian hukum, keamanan, kemitraan, etika, dan kepercayaan pada diri sendiri. 
Pasal 3 Telekomunikasi diselenggarakan dengan tujuan untuk mendukung persatuan dan kesatuan bangsa, meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata, mendukung kehidupan ekonomi dan kegiatan pemerintahan, serta meningkatkan hubungan antarbangsa.
Penyidikan Telekomunikasi berdasarkan Undang Undang No 36 Pasal 44
(1)   Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang telekomunikasi, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang telekomunikasi.
(2)   Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang : 
a.       melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi.
b.      melakukan pemeriksaan terhadap orang dan atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana di bidang telekomuniksi.
c.       menghentikan penggunaan alat dan atau perangkat telekomunikasi yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku.
d.      memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi atau tersangka.
e.       melakukan pemeriksaan alat dan atau perangkat telekomunikasi yang diduga digunakan atau diduga berkaitan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi.
f.       menggeledah tempat yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana di bidang telekomunikasi.
g.      menyegel dan atau menyita alat dan atau perangkat telekomuniksi yang digunakan atau diduga berkaitan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi.
h.      meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang telekomunikasi.
i.        mengadakan penghentian penyidikan.
(3)   Kewenangan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-undang Hukum Acara Pidana.
Sanksi Administrasi Telekomunikasi berdasarkan Undang Undang No 36  Pasal 45 Barang siapa melanggar ketentuan-ketentuan Pasal 16 ayat (1), Pasal 18 ayat (2), Pasal 19, Pasal 21, Pasal 25 ayat (2), Pasal 26 ayat (1), Pasal 29 ayat (1),Pasal 29 ayat (2), Pasal 33 ayat (1), Pasal 33 ayat (2),Pasal 34 ayat (1), atau Pasal 34 ayat (2) dikenai sanksi administrasi.
Pasal 46 (1)Sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 berupa pencabutan izin. (2)Pencabutan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah diberi peringatan tertulis.

Ketentuan Pidana Telekomunikasi berdasarkan Undang Undang No 36
Pasal 47 Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). 

Pasal 48 Penyelenggara jaringan telekomunikasi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 49 Penyelenggara telekomunikasi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 50 Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). 
Pasal 51 Penyelenggara telekomunikasi khusus yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) atau Pasal 29 ayat (2) , dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
Pasal 52 Barang siapa memperdagangkan, membuat, merakit, memasukkan, atau menggunakan perangkat telekomunikasi di wilayah Negara Republik Indonesia yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 ( satu) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 53 (1)Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) atau Pasal 33 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah). (2)Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.
Pasal 54 Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) atau Pasal 36 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). 
Pasal 55 Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 56 Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.
Pasal 57 Penyelenggara jasa telekomunikasi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 58 Alat dan perangkat telekomunikasi yang digunakan dalam tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47, Pasal 48, Pasal 52, atau Pasal 56 dirampas untuk negara dan atau dimusnahkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 59 Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 51, Pasal 52, Pasal 53, Pasal 54, Pasal 55, Pasal 56, dan Pasal 57 adalah kejahatan. 

Kesimpulan saya : Dengan adanya UU telekomunikasi diharapkan, dunia telekomunikasi yang sesuai aturan dan tidak disalahgunakan untuk kepentingan pribadi, selain itu dengan adanya UU telekomunikasi ini masyarakat dapat lebih bijak dalam menggunakan social media, menjaga kerukunan antar umat beragama. Semoga kedepannya dapat meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata, mendukung kehidupan ekonomi dan kegiatan pemerintahan.

Sumber:



4. UU tentang informasi dan transaksi Elektronik (ITE) peraturan lain yang terkait (Peraturan Bank Indonesia tentang internet banking)


Undang-Undang Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Peraturan Bank Indonesia Tentang Internet Banking. Saat ini pemanfaatan teknologi informasi merupakan bagian penting dari hampir seluruh aktivitas masyarakat. Bahkan dalam dunia perbankan hampir seluruh proses penyelenggaraan sistem pembayaran dilakukan secara elektronik.

Perkembangan teknologi informasi ini telah memaksa pelaku usaha mengubah strategi bisnisnya dengan menempatkan teknologi sebagai unsur utama dalam proses inovasi produk dan jasa. Pelayanan electronic transaction melalui internet banking (e-banking) merupakan salah satu bentuk baru dari delivery channel pelayanan bank yang mengubah pelayanan transaksi manual menjadi pelayanan transaksi oleh teknologi.
Internet Banking (e-banking) adalah salah satu pelayanan jasa bank yang memungkinkan nasabah untuk memperoleh informasi, melakukan komunikasi dan melakukan transaksi perbankan melalui jaringan internet. Bank penyelenggara e-banking harus memiliki wujud fisik dan jelas keberadaannya dalam suatu wilayah hukum. Bank Indonesia tidak memperkenankan kehadiran bank visual dan tidak memiliki kedudukan hukum. E-banking dipandang bank Indonesia merupakan salah satu jasa layanan perbankan, sehingga bank bersangkutan harus memiliki jasa layanan seperti layaknya bank konvensional.
Penyelenggaraan e-banking sangat dipengaruhi oleh perkembangan teknologi informasi. Dalam kenyataannya pada satu sisi membuat jalannya transaksi perbankan menjadi lebih mudah, akan tetapi di sisi lain membuatnya semakin beresiko. Salah satu risiko yang terkait dengan penyelenggaraan kegiatan e-banking adalah internet fraud atau penipuan melalui internet. Dalam internet fraud ini menjadikan pihak bank atau nasabah sebagai korban, yang dapat terjadi karena maksud jahat seseorang yang memiliki kemampuan dalam bidang teknologi informasi, atau seseorang yang memanfaatkan kelengahan pihak bank maupun pihak nasabah. Jasa-jasa yang ditawarkan oleh e-banking antara lain :
a.       Informational Internet Banking: pelayanan jasa bank kepada nasabah dalam bentuk informasi melalui jaringan internet dan tidak melakukan eksekusi transaksi.
b.      Communicative Internet Banking: pelayanan jasa bank kepada nasabah dalam bentuk komunikasi atau melakukan interkasi dengan bank penyedia layanan internet banking secara terbatas dan tidak melakukan eksekusi transaksi.
c.       Transactional Internet Banking: pelayanan jasa bank kepada nasabah untuk melakukan interaksi dengan bank penyedia layanan internet banking dan melakukan eksekusi transaksi.
Oleh karena itu, perbankan harus meningkatkan keamanan e-banking seperti melalui standarisasi pembuatan aplikasi e-banking, adanya panduan bila terjadi fraud dalam e-banking dan pemberian informasi yang jelas kepada user.
Ketentuan/peraturan untuk memperkecil resiko dalam penyelenggaraan E-banking, yaitu :
a.       Surat keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 27/164/KEP/DIR tanggal 31 Maret 1995 tentang penggunaan teknologi system informasu oleh bank.
b.      Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen.
c.       Ketentuan Bank Indonesia tentang penerapan Prinsip mengenai nasabah.
d.      Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum.
e.       Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 6/18/DPNP tanggal 20 April 2004 tentang Pedoman Penerapan Manajemen Risiko pada Aktivitas Pelayanan Jasa Bank Melalui Internet.
Payung hukum setingkat undang-undang yang khusus mengatur tentang kegiatan di dunia maya hingga saat ini belum ada di Indonesia. Dalam hal ini terjadi tindak pidana kejahatan dunia maya, untuk penegakan hukumnya masih menggunakan ketentuan-ketentuan yang ada di KUHP yakni mengenai pemalsuan surat, pencurian, penggelapan, penipuan, penadahan, serta ketentuan yang terdapat dalam Undang-undang tentang tindak pidanan pencucian uang dan Undang-undang tentang merek.
Ketentuan-ketentuan tersebut tentu saja belum bisa mengakomodir kejahatan-kejahatan di dunia maya yang modus operasi terus berkembang. Selain itu dalam penanganan kasusnya seringkali menghadapi kendala antara lain dalam hal pembuktian dengan menggunakan alat bukti elektronik dan ancaman sanksi yang terdapat dalam KUHP tidak sebanding dengan kerugian yang diderita oleh si korban.
Terkait dengan hal-hal tersebut, kehadiran Undang-undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Undang-undnag tentang Transfer Dana (UU Transfer Dana) diharapkan dapat menjadi faktor penting dalam upaya mencegah dan memberantas cybercrime serta dapat memberikan deterrent effect kepada para pelaku cybercrime sehingga akan berpikir jauh untuk melakukan aksinya. Selain itu, hal yang penting lainnya adalah pemahaman yang sama dalam memandang cybercrime dari aparat penegak hukum termasuk di dalamnya law enforcement.

No comments:

Tuesday, April 25, 2017

Tugas Softskill Profesionalisme atau Kode Etik

https://nasional.tempo.co/read/news/2015/04/06/058655637/dianggap-langgar-kode-etik-koran-kedaulatan-rakyat-didemo

Berita tentang pelanggaran kode etik jarang kita dengar dan di sorot media kebanyakan. Tetapi tidak menutup kemungkinan adanya pelanggaran kode etik di jaman modern ini. Salah satunya adalah pelanggaran kode etik pada dunia pers. Mungkin sedikit dari kita yang tau apa saja kode etik pada pers. Salah satu kode etik pers atau jurnalistik dari 11 peraturan yang ada adalah membuat berita yang independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk. (info lebih lanjut : https://id.wikipedia.org/wiki/Kode_etik_jurnalistik).

Pada berita diatas, terjadi pelanggaran kode etik pada salah satu media terbesar di Yogyakarta yaitu koran Kedaulatan Rakyat. Media tersebut membela salah satu tersangka korupsi dana hibah Persiba Rp 12,5 Miliyar. Mulai dari 12 Maret hingga 28 maret, secara bertubi-tubi koran KR menampilkan berita pembelaan tersangka korupsi tersebut di halaman satu. Berita tersebut dimuat karena salah satu terangka korupsi Persiba M. Idham Samawi mempunya hubungan denkat dengan Kedaulatan Rakyat
karena Dirut koran Kedaulatan Rakyat adalah Gun Nugroho Samawi, yang merupakan kakak kandung Idham.

Kebebasan pers tentu perlu di tegakan, tetapi tidak boleh melenceng dari peraturan yang ada. Membela tersangak korupsi karena mempunyai hubungan saudara kandung tentu menciderai kebebasan pers tersebut. Seharusnya, pihak koran (Kedaulatan Rakyat) harus bisa bersifat netral dalam membuat berita untuk dibaca oleh masyarakat umum, bukan dengan membela dan seperti menutup-nutupi kejadian tersebut.



No comments:

Tuesday, January 24, 2017

Telematika di Negara Vietnam

Negara yang paling membelenggu di Asia Tenggara adalah Vietnam, muncul tak jauh dari posisi bontot pada peringkat regional Asia dalam laporan 'Freedom on the Net 2013' keluaran Freedom House, mengekor Cina yang berada pada peringkat lebih rendah. Vietnam berstatus 'tidak bebas.'

Mei 2014 pemerintah Vietnam menangkap dua aktivis demokrasi di Hanoi yang memposting artikel-artikel online yang bernada kritis terhadap pemerintah. Keduanya terancam hukuman tujuh tahun penjara. Sejak awal tahun 2014, sedikitnya enam orang lainnya telah dijatuhi hukuman atas tuntutan serupa.

Tahun 2013, Vietnam menyalip Iran sebagai negara kedua yang paling banyak memenjarakan pengguna internet, setelah Cina. Reporter Lintas Batas mengatakan lebih dari 30 aktivis online berada di balik jeruji penjara Vietnam. Dan Hanoi mengakui telah mempekerjakan 1.000 'pembentuk opini publik' yang pro pemerintah untuk meredam suara-suara kritis.

Beberapa tahun terakhir industri telekomunikasi di Vietnam tumbuh sebesar 24% per tahun. Prestasi ini menjadikan Vietnam sebagai negara dengan pertumbuhan terbesar kedua setelah China dalam sektor telekomunikasi.

Keberhasilan itu merupakan buah dari kebijakan agresif yang ditempuh pemerintah Vietnam yang terus memperluas infrastruktur nasional, sehingga basis pelanggan semakin tumbuh di semua segmen pasar. Alhasil, kemajuan industri ponsel tumbuh sangat mengesankan dan akses online (internet broadband) mengalami lonjakan yang sangat signifikan sejak 2008.

Pertumbuhan pelanggan mobile hingga akhir agustus 2009 meroket hingga 40%. Pertumbuhan ini dipicu oleh penurunan tarif yang dilakukan oleh tiga perusahaan telekomunikasi terbesar di Vietnam seperti Viettel, milik militer Vietnam, serta MobiFone dan Vinaphone, milik Vietnam Posts and Telecommunications (VNPT).

Penurunan tarif ini dilakukan oleh ketiga operator itu, guna menstimulasi pertumbuhan hingga akhir 2009 dengan jumlah pelanggan yang diharapkan tumbuh sebanyak 105.000 pelanggan. Selain itu pemerintah Vietnam juga telah memberikan ijin bagi operator asing untuk bermitra dengan operator negara tersebut dalam rangka penyediaan layanan 3G.

Di sisi lain, Vietnam mengalami masalah yang unik dengan jaringan telekomunikasinya dan pemerintah akan menerapkan aturan yang ketat terhadap jumlah nomor untuk setiap pengguna telepon di negeri tersebut.

Untuk mengantisipasi hal ini pemerintah Vietnam akan membatasi jumlah nomor telepon yang boleh digunakan oleh pelanggan. Ke depannya, seorang pengguna hanya boleh menggunakan tiga nomor telepon dari setiap jaringan. Ini dilakukan mengingat nomor telepon yang tersedia semakin menipis.

Vietnam saat ini memiliki sekitar 87 juta penduduk dengan tingkat penetrasi pelanggan ponsel mencapai 97%. Jika ditambahkan dengan telepon kabel, secara total 111 juta nomor telepon sudah digunakan. Namun, Kementrian Informasi dan Komunikasi Vietnam khawatir bahwa skema penomoran yang digunakan tidak akan dapat menangani lebih banyak pengguna. “Karena jumlah nomor telepon selular terbatas, sumber daya telekomunikasi harus digunakan secara efektif,” kata juru bicara pemerintah Vietnam. 

http://www.dw.com/id/belenggu-kebebasan-internet-di-asia-tenggara/a-17647964-0
http://udayrayana.blogspot.co.id/2010/10/vietnam-primadona-baru-telekomunikasi.html

Nama Kelompok :
Ardy Wiratno (11113258)
Rheza Aulia Rahman (17113541)
Ronald Surjadibrata (11113711)
No comments:

    Followers