1 Ciri-ciri atau Syarat-syarat Pantun
Menurut Zaidan Hendy (1990), pantun mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1) tiap bait terdiri atas empat baris kalimat, 2) tiap baris terdiri
atas 4-6 kata atau 8-12 suku kata, 3) baris pertama dan kedua disebut
sampiran dan baris ketiga dan keempat disebut isi, sampiran melukiskan
alam dan kehidupan sedangkan isi pantun berkenaan dengan maksud
pemantun, 4) bersajak silang atau a-b-a-b, artinya bunyi akhir baris
pertama sama dengan bunyi akhir baris ketiga dan bunyi akhir baris kedua
sama dengan bunyi akhir baris keempat, 5) pantun digunakan untuk
pergaulan. Maka pantun selalu berisikan curahan perasaan, buah pikiran,
kehendak, kenangan dan sebagainya, 6) tiap bait pantun selalu dapat
berdiri sendiri, kecuali pada pantun berkait, 7) pantun yang baik,
bermutu ada hubungannya antara sampiran dan isi.
Contoh:
Air dalam bertambah dalam,
hujan di hulu belum lagi teduh.
Hati dendam bertambah dendam,
dendam dahulu belum lagi sembuh.
Hubungan antara sampiran dan isi yang tampak pada pantun di atas ialah sama-sama melukiskan keadaan yang makin menghebat.
Pantun yang kurang bermutu, menurut Zaidan, yang diciptakan oleh kebanyakan, umumnya tidak ada hubungan antara sampiran dan isi.
Contoh:
Buah pinang buah belimbing,
ketiga dengan buah mangga.
Sungguh senang beristri sumbing,
biar marah tertawa juga.
Sebait pantun di atas tidak menunjukkan adanya hubungan antara sampiran dan isi, kecuali adanya persamaan bunyi.
Sedangkan menurut para sastrawan luar negeri, ada dua pendapat mengenai
hubungan antara sampiran dan isi pantun. Pendapat pertama dikemukakan
oleh H.C. Klinkert pada tahun 1868 yang menyebutkan bahwa, antara
sampiran dan isi terdapat hubungan makna. Pendapat ini dipertegas
kembali oleh Pijnappel pada tahun 1883 yang mengatakan bahwa, hubungan
antara keduanya bukan hanya dalam tataran makna, tapi juga bunyi. Bisa
dikatakan jika sampiran sebenarnya membayangkan isi pantun. Pendapat ini
dibantah oleh van Ophuysen yang mengatakan bahwa, sia-sia mencari
hubungan antara sampiran dan isi pantun. Menurutnya, yang muncul pertama
kali dibenak seseorang adalah isi, baru kemudian dicari sampirannya
agar bersajak. Dalam perkembangannya, Hooykas kemudian memadukan dua
pendapat ini dengan mengatakan bahwa, pada pantun yang baik, terdapat
hubungan makna tersembunyi dalam sampiran, sedangkan pada pantun yang
kurang baik, hubungan tersebut semata-mata hanya untuk keperluan
persamaan bunyi. Pendapat Hooykas ini sejalan dengan pendapat Dr. (HC)
Tenas Effendy yang menyebut pantun yang baik dengan sebutan pantun
sempurna atau penuh, dan pantun yang kurang baik dengan sebutan pantun
tak penuh atau tak sempurna. Karena sampiran dan isi sama-sama
mengandung makna yang dalam (berisi), maka kemudian dikatakan, “sampiran
dapat menjadi isi, dan isi dapat menjadi sampiran.”
(http://lubisgrafura.wordpress.com, diakses tanggal 18 Oktober 2008).
Menurut Zulfahnur dkk (1996), sebait pantun terikat oleh beberapa
syarat: 1) bilangan baris tiap bait adalah empat, bersajak AB-AB, 2)
banyak suku katanya tiap baris 8-12, umumnya 10 suku kata, 3) pantun
umumnya mempunyai sajak akhir, tetapi ada juga yang bersajak awal atau
bersajak tengah.
Menurut Sumiati Budiman (1987), ada beberapa syarat yang mengikat
pantun, yaitu: 1) setiap bait terdiri atas empat bait, 2) setiap baris
terdiri atas 4 patah kata, atau 8 – 12 suku kata, 3) baris pertama dan
kedua merupakan sampiran, baris ketiga dan keempat merupakan isi, 4)
berima a b a b, 5) antara sampiran dan isi terdapat hubungan yang erat.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa Pantun
adalah bentuk puisi yang terdiri atas empat baris yang bersajak bersilih
dua-dua (pola ab-ab), dan biasanya, tiap baris terdiri atas empat
perkataan. Dua baris pertama disebut sampiran (pembayang), sedangkan dua
baris berikutnya disebut isi pantun. Antara sampiran dan isi terdapat
hubungan yang saling berkaitan. Oleh karena itu, tidak boleh membuat
sampiran asal jadi hanya untuk menyamakan bunyi baris pertama dengan
baris ketiga dan baris kedua dengan baris keempat.
2 Cara Menulis Pantun
Untuk menulis pantun, hal yang harus diperhatikan ialah membuat topik
atau tema terlebih dahulu, sama halnya jika hendak membuat karangan yang
lain. Tema dalam penulisan pantun sangat penting sekali, karena dengan
tema pantun-pantun yang dibuat oleh siswa akan lebih terarah kepada
sesuatu maksud yang diharapkan. Dan juga tidak akan merebak kemana-mana,
yang akhirnya dapat mendatangkan masalah. Memang diakui, adanya sedikit
pengekangan kreativitas bagi siswa dalam menulis pantun, jika
menggunakan tema yang sempit. Oleh karena itu, guru harus lebih
bijaksana dalam memilih tema yang didalamnya dapat mengandung atau
mencakup berbagai permasalahan keseharian. Tema yang cocok diberikan
dalam proses pembelajaran misalnya saja berkaitan dengan masalah
politik, sosial budaya, percintaan, dan kehidupan keluraga. Misalnya,
tema tentang sosial budaya dengan mengambil topik soal kebersihan kota
atau masalah sampah. Hal pertama yang harus dilakukan ialah membuat
isinya terlebih dahulu. Untuk membuat isi harus diingat bahwa pantun
terdiri atas empat baris. Dua baris pertama sampiran, dan dua baris
berikutnya ialah isi. Jadi, soal sampah tersebut dapat disusun dalam dua
baris kalimat, yang setiap baris kalimatnya terdiri atas empat
perkataan dan berkisar antara 8 sampai 12 suku kata.
Kemungkinan jika dibuatkan kalimat biasa, boleh jadi kalimatnya cukup
panjang. Misalnya: ”Dikota yang semakin ramai dan berkembang ini,
ternyata mempunyai masalah lain yang sangat terkait dengan masalah
kesehatan warganya, yaitu sampah yang berserakan di mana-mana . . . dan
seterusnya.”
Pengertian dari kalimat di atas mungkin bisa lebih panjang, namun hal
tersebut dapat diringkas dalam dua baris kalimat isi sebagai berikut.
Jika sampah dibiarkan berserak,
penyakit diundang, masalah datang.
Disinilah kelebihan pantun, dapat meringkas kalimat yang panjang, tanpa
harus kehilangan makna atau arti sebuah kalimat yang ditulis
panjang-panjang.
Jika isi pantun sudah didapatkan, langkah selanjutnya ialah membuat
sampirannya. Walau kata kedua dari suku akhir baris isi pertama dan
kedua diberi tanda tebal. Namun jangan hal itu yang menjadi perhatian,
tapi justru yang harus diperhatikan ialah pada suku akhir dari kata
keempat baris pertama dan kedua, yaitu rak dan tang, sebab yang hendak
dicari ialah sajaknya atau persamaan bunyi.
Sebuah pantun yang baik, suku akhir kata kedua sampiran pertama bersajak
dengan suku akhir kata kedua dari isi yang pertama. Apalagi suku akhir
kata keempat dari sampiran pertama seharusnya bersajak dengan suku akhir
kata keempat isi pertama, karena disinilah nilai persajakan dalam
pantun itu yaitu baris pertama sama dengan baris ketiga dan baris kedua
sama dengan baris keempat.
Tetapi kalau dibuat sekaligus, takut terlalu sulit menyusunnya. Memang
tidak sedikit kata-kata yang bersuku akhir pah, misalnya pelepah,
sampah, nipah, tempah, terompah, dan sebagainya. Begitupun suku kata
yang akhirannya dang, misalnya udang, sedang, ladang, kandang, bidang,
tendang, dan sebagainya. Kalaupun sulit untuk mencari kata yang bersuku
akhir pah, masih ada jalan lain yaitu dengan membuang huruf p nya, dan
mengambil ah nya saja. Begitupun dengan dang, buang huruf d nya,
sehingga yang tertinggal hanya ang nya. Tapi jangan sampai dibuang a nya
juga, sehingga hanya tinggal ng nya saja karena hal tersebut dapat
menghilangkan sajaknya. Begitupun untuk suku akhir dari kata rak dan
tang yang menjadi tujuan.
Kata yang bersuku akhir rak dan tang dalam kosa kata bahasa Indonesia
cukup banyak, misalnya untuk kata rak, yaitu kerak, jarak, marak, serak,
gerak, merak, arak, dan sebagainya. Sedangkan untuk kata tang, yaitu
hutang, pantang, batang, petang, lantang, dan sebagainya. Sekarang baru
membuat sampiran pertama dan kedua dengan mencari kalimat yang suku
akhir kata keempatnya adalah rak dan tang. Misalnya:
Cantik sungguh si burung merak,
terbang rendah di waktu petang.
Kemudian antara sampiran dan isi baru disatukan menjadi;
Cantik sungguh si burung merak,
terbang rendah di waktu petang.
Jika sampah dibiarkan berserak,
penyakit diundang, masalah datang.
Jika menginginkan suku akhir kata kedua baris pertama dengan suku akhir
kata kedua dari baris ketiga bersajak juga. Begitupun dengan suku akhir
kata kedua baris kedua dengan suku akhir kata kedua baris keempat
bersajak agar terlihat lebih indah bunyinya, maka sampirannya harus
diubah, menjadi;
Daun nipah jangan diarak,
bawa ke ladang di waktu petang.
Jika sampah dibiarkan berserak,
penyakit diundang, masalah datang.
Demikian halnya jika membuat pantun teka-teki. Misalnya membuat
teka-teki tentang parut, salah satu alat dapur yang berfungsi untuk
memarut kelapa guna diambil santannya. Jika diperhatikan dengan teliti
ada keanehan mengenai cara kerja parut, hal inilah yang dapat mengilhami
kepada semua orang untuk membuat teka-teki, yaitu mata parut yang
sedemikian banyak itu, cukup tajam. Daging kelapa yang sudah disediakan,
dirapatkan ke mata parut, lalu digerakkkan dari atas ke bawah sambil
ditekan. Dari pergerakan itu semua, seperti layaknya orang menyapu,
dapat dilihat, daging kelapa itu tertinggal diantara mata parut. Ada
terus. Semakin gerakan menyapu dilakukan, dagimg kelapa itu semakin
banyak dimata-mata parut. Logikanya, orang menyapu tentu lantai akan
menjadi bersih, tetapi sebaliknya sangat berbeda dengan bidang bangun
parut. Semakin disapu, semakin kotor karena banyaknya daging kelapa yang
menyangkut dimata parut. Dari sini dapat dibuatkan inti pantunnya,
yaitu Semakin disapu, semakin kotor.
Tugas selanjutnya ialah membuat sampiran. Untuk membuat sampiran, boleh
membuat yang sederhana, yaitu hanya untuk mencari persamaan bunyi
(bersajak) tanpa mengindahkan makna atau arti atau keterkaitan dengan
isi seolah satu kesatuan kalimat yang saling mendukung. Jika ingin
membuat sampiran yang sederhana, hal yang dilakukan ialah mencari kosa
kata yang bersuku akhir tor atau paling tidak or. Misalnya kantor,
setor, dan motor. Jika sudah mendapatkan kosa kata untuk membuat akhiran
pantun yang sesuai dengan kata kotor, langkah selanjutnya ialah
menentukan letak inti pertanyaannya. Apakah diletakkan dibaris ketiga
atau baris keempat. Jika diletakkan pada baris ketiga, kalimat baris
keempat dapat dibuat sebagai berikut: apakah itu, cobalah terka.
Sehingga hasilnya menjadi:
Semakin disapu, semakin kotor,
Apakah itu, cobalah terka.
Sekarang barulah mencari sampirannya. Suku akhir tor atau or dari kata
kotor dapat diambil salah satu saja, misalnya kata kantor, kemudian
tinggal mencari suku kata yang berakhir ka dari kata terka, yang
merupakan kata terakhir dari baris terakhir. Untuk kata yang bersuku
akhir ka, dalam kosa kata bahasa Indonesia cukup banyak, misalnya
bingka, ketika, sangka, nangka, dan luka. Misalnya diambil kata bingka.
Sekarang kata kantor dan bingka baru dijadikan sampiran, menjadi:
pagi-pagi pergi ke kantor,
singgah ke warung beli bingka.
Kemudian antara sampiran dan isi baru disatukan, hasilnya menjadi:
pagi-pagi pergi ke kantor,
singgah ke warung beli bingka.
Semakin disapu, semakin kotor,
Apakah itu, cobalah terka.
Jadilah pantun teka-teki. Dan jawaban pantun teka-teki itu, tentulah parutan kelapa.
Jika inti pertanyaan diletakkan pada baris keempat, kalimat baris ketiga
sebagai berikut: Jika pandai kenapa bodoh. Sehingga hasilnya menjadi:
Jika pandai kenapa bodoh,
Semakin disapu, semakin kotor.
Langkah selanjutnya ialah membuat sampirannya agar lengkap menjadi
sebait pantun. Suku akhir kata kantor yang bersajak dengan kata kotor
dapat digunakan lagi, sekarang tinggal mencari suku akhir doh, yang akan
bersajak dengan kata bodoh. Misalnya kata jodoh sehingga jika dibuatkan
sampirannya, menjadi:
Ramai-ramai mencari jodoh,
mencari jodoh sampai ke kantor.
Langkah terakhir baru disatukan antara isi dan sampirannya sehingga menjadi:
Ramai-ramai mencari jodoh,
mencari jodoh sampai ke kantor.
Jika pandai kenapa bodoh,
Semakin disapu, semakin kotor.
Dan jawaban dari pantun teka-teki tersebut tentunya ialah parutan kelapa.
Jika diperhatikan sampirannya dari keempat contoh pantun di atas, memang
terasa kurang kuat dan terkesan memaksakan kata-kata hanya untuk
mencari persamaan bunyi sehingga kalimat sampirannya tidak mempunyai
keutuhan arti. Tetapi hal ini tidak dianggap salah, hanya mutunya
dianggap kurang.
Namun, jika dilihat dari pantun-pantun pusaka yang ada, bahwa tidak
semua pantun pusaka tersebut dikatakan sempurna atau tinggi mutunya,
terkadang ada yang setipa barisnya tidak terdiri atas empat perkataan
tetapi hanya tiga perkataan atau ada lima perkataan. Selain itu juga,
masih banyak pantun-pantun yang betul-betul hanya mengutamakan persamaan
bunyi, padahal tidak bersajak. Seperti kata lintah dengan cinta pada
pantun berikut ini.
Dari mana datangnya Lintah,
dari sawah turun ke kali
Dari mana datangnya cinta,
dari mata turun ke hati.
Sepintas lalu terdengar sama-sama berakhiran ta, tapi jika diamati benar
barulah terasa bedanya antara bunyi tah dengan ta itu. Yang satu
terdengar lebih tebal atau kental dan yang satu terasa ringan.
Demikianlah pantun-pantun yang banyak terlihat, jika dirasakan banyak
sekali kekurangannya. Namun, hal itu tidak menjadi masalah justru
menjadi canda gurauan, tidak ada niat untuk mengecilkan hati apalagi
mencemooh. Begitu benar, sesungguhnya jiwa melayu yang terdapat dalam
filosofi pantun tidak suka untuk saling menyakiti apalagi sampai
melukai. Begitu indah pantun bagi kehidupan orang melayu khususnya dan
bagsa Indonesia umumnya yang telah mendarah daging dalam jiwa dan raga.
Sumber : http://bissastra.blogspot.com/2009/04/ciri-dan-cara-menulis-pantun.html